Kenapa Mereka yang Membenci Jokowi Juga Membenci Ahok?
PERSIS di saat bola kembalian Tantowi Ahmad gagal menyeberangi net dan pasangan ganda campuran terbaik Indonesia ini harus angkat koper dari All England 2016, seorang kawan melontarkan pertanyaan yang membikin saya semakin jengkel: "kenapa mereka yang membenci Jokowi juga membenci Ahok?"
Bagaimana tak semakin jengkel! Tantowi Ahmad dan Lilyana Natsir merupakan satu dari dua wakil Indonesia yang tersisa di All England, turnamen bulutangkis tertua sekaligus paling prestisius di kolong langit. Di babak-babak sebelumnya, seluruh pebulutangkis Indonesia, termasuk ganda putra Mohamad Aksan dan Hendra Setiawan, sudah gugur.
Pasangan muda Praveen Jordan dan Debby Susanto pada akhirnya memang berhasil menang di perempat final. Namun di fase empat besar, mereka akan berhadapan dengan juara dunia dan unggulan utama turnamen ini, Zhang Nan dan Zhao Yunlei. Ada peluang, namun sungguh berat. Dan apabila Praveen dan Debby kalah, maka untuk kali kedua secara beruntun, Indonesia akan pulang tanpa gelar dari All England.
Bagaimana saya tidak kesal! Kemerosotan bulutangkis memang belum separah sepakbola. Akan tetapi, gelagat ini semestinya mencemaskan. Jangan sampai di sepakbola babak belur, bulutangkis juga tak dapat lagi diharapkan untuk memberikan kebanggaan dan kebahagiaan.
Namun ternyata gambaran kecemasan seperti itu tak muncul. Tak ada sama sekali. Media sosial yang mau tak mau telah menjelmakan representasi perasaan, dan sikap, orang-orang Indonesia, menunjukkan kecenderungan ini.
Satu persatu pebulutangkis Indonesia berguguran di All England, dan di Facebook, juga Twitter dan media-media sosial lain, jumlah akun yang membahasnya bisa dihitung dengan jari tangan. Keriuhan yang mencuat masih saja berkutat pada hal-hal yang itu ke itu saja: dari agama ke politik, dari Jokowi ke Ahok.
Para komentator stasiun televisi yang menyiarkan turnamen ini membahas faktor teknis dan nonteknis yang menyebabkan para unggulan semacam Mohamad Aksan dan Henda Setiawan, Chen Long, dan Lee Chong Wei bisa gugur di babak-babak awal. Mereka juga menelaah apa yang menjadi penyebab Lin Dan bisa melakukan come-back yang demikian gemilang.
Tapi bagi kawan saya tadi, bahasan ini sama sekali tidak menarik. Dia mengulang pertanyaannya: "kenapa mereka yang membenci Jokowi juga membenci Ahok?"
Yeah, Jokowi, Ahok... Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama. Dua manusia ini, sejak mereka "diterbangkan" dari Solo dan Belitong untuk mengikuti Pemilu Kepala Daerah Jakarta, dan menang, memang telah menjelma biang-biang ricuh utama di Indonesia.
Mereka, disadari atau tidak, sukses menumbuhkan kelompok pecinta dan pembenci yang dua-duanya sama-sama fanatik dan militan. Akibatnya, nyaris tidak ada hari (selama 24 jam penuh) terlewatkan tanpa kabar dan komentar perihal keduanya. Ada saja hal-hal berkaitan dengan diri Jokowi dan Ahok yang mustajab sebagai bahan pemicu kericuhan. Baik yang benar-benar berkaitan maupun yang dicari-cari kaitannya.
Tatkala kemudian Jokowi meninggalkan Ahok, mengikuti pemilihan presiden dan menang, keduanya makin bersinar sebagai bahan pemicu kericuhan. Pecinta Jokowi dan Ahok makin banyak. Pula begitu pembencinya. Ada pun fanatisme dan militansi kelompok-kelompok ini semakin dahsyat saja.
Jika Facebook dan Twitter melakukan review, tokoh-tokoh mana sajakah yang menjadi top trending topic di Indonesia setiap hari sepanjang bulan Januari-Maret tahun 2016, saya sangat yakin, nama Jokowi akan berada di puncak selama 40-45 hari, dan Ahok antara 15-20 hari. Sisanya ditempati Setya Novanto, Rizal Ramli, Kombes Khrisna Murti, Wayan Mirna Salihin, Rio Haryanto, Indra Bekti, dan Saipul Jamil.
Keputusan Ahok untuk kembali bertarung di Pemilu Kepala Daerah Jakarta di tahun 2017, lewat jalur independen (setidaknya sampai sejauh ini ia masih menolak "tawaran perahu" partai politik), membuatnya berpeluang menggerus dominasi Jokowi. Terlebih-lebih, Ahok masih punya dua amunisi untuk diriuhkan: (1) RS Sumber Waras, dan (2) Kabel dalam gorong-gorong.
Serangan terhadap dirinya pun makin bertubi dan datang dari segenap penjuru mata angin. Termasuk dari luar Jakarta. Termasuk dari Medan. Termasuk dari sejumlah kawan saya, yang saya tahu seumur-umur belum pernah menginjakkan kakinya di Jakarta.
Maka begitulah. Barangkali sampai akhir Maret, Ahok akan bertahan di peringkat pertama, dengan peluang digeser oleh Jokowi saat beliau menggelar acara akikah cucunya, serta oleh Rio Haryanto, apabila pebalap ini kalah dan tercecer di urutan buncit atau keluar dari lintasan lomba pada seri pertama Formula One 2016 yang akan digelar di Melbourne, Australia, 20 Maret mendatang.
"Iya, tapi kenapa mereka yang membenci Jokowi juga membenci Ahok?" tanya kawan saya itu lagi.
"Apakah karena mereka telah berikrar untuk membenci siapa saja yang dekat atau memiliki hubungan baik dengan Jokowi?"
Saya, terus terang tidak punya jawaban. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Meski secara kasat mata memang begitu.
Bukan cuma Ahok, bukan cuma pejabat dan politisi, siapapun yang dekat atau memiliki hubungan baik dengan Jokowi, memang mendapatkan perlakuan serupa.
Tidak peduli itu aparat negara, pebisnis, ustaz, pendeta, aktivis lingkungan hidup, penyuara HAM, akademisi, budayawan, pemusik, penyanyi dangdut, bintang film, aktor teater, penulis buku, bahkan sampai burung-burung, kodok, senja di Raja Ampat, dan gerhana matahari.
Kenapa kecenderungan yang mengenaskan seperti ini bisa terjadi? Apakah memang sebenar- benarnya lantaran ketidaksepahaman ideologi dan cara pandang terkait politik? Apakah didasari perbedaan agama? Apakah berangkat dari dendam kekalahan? Apakah kebencian memang sengaja dipelihara dan ditumbuhkembangkan? Sekali lagi saya tidak tahu. Saya tak punya kemampuan untuk melongok ke dalam hati.
"Jadi bagaimana, Bung?"
Saya mengangkat bahu. Saya bilang, kalau dia bertanya perihal bulutangkis, tentang kegagalan di All England dan potensi di Olimpiade Rio de Jeneiro, mungkin saya bisa memberikan sekian rangkaian jawaban. Tapi dia terus mendesak.
"Apakah Anda punya teman, entah di dunia nyata maupun di media sosial, yang berperilaku seperti ini, Bung?" Saya balik bertanya.
Dia tertawa. "Banyak!"
"Kalau begitu, tanyakan saja pada mereka. Pasti mereka punya jawabannya."
[tribunnews.com]
0 komentar:
Posting Komentar