Our social:

Selasa, 15 Maret 2016

Surat 'Cinta' Bidan Desa Terpencil untuk Presiden Jokowi

Dari pelosok Desa Air Liki Baru, Tabir Barat, Kabupaten Merangin, seorang bidan menulis surat 'cinta' untuk Presiden Joko Widodo.

Surat berisi curahan hatinya, Erwan Dinantha unggah lewat akun Facebook. Di dalamnya berisi cerita suka duka ia menembus akses berliku-liku menuju desa tempatnya bertugas.

Erwan menggambarkan keprihatinan dirinya dan istrinya yang berprofesi sebagai petugas kesehatan di Desa Air Liki.

Lantaran kondisi akses lalu lintas yang sulit membuat warga harus bertarung nyawa untuk mendapat fasilitas kesehatan. Contoh kecil, untuk membawa warga yang hendak melahirkan harus digotong sarung yang disangga bambu oleh dua orang di dua sisi untuk sampai ke perahu.

Perjuangan baru saja dimulai. Perahu tadi membawa ibu yang hendak melahirkan menuju puskesmas. Bayangkan, waktu tempuh ke tempat tujuan sampai sembilan Jam!

"Tahukah bapak, jangankan untuk mencapai rumah sakit, untuk mencapai puskesmas pun butuh waktu sembilan jam. Jalan yang bukan main, lumpur, bebatuan, bukit, adalah rute yang memang biasa kami lalui," begitu penggalan curahan hati yang Erwan tulis dan unggah di Facebook pribadinya pada Minggu (13/3/2016).

Dalam suratnya, Erwan mencantumkan foto ia dan istrinya tengah membawa seorang ibu yang akan melahirkan di dalam perahu menuju puskesmas.

Berikut kutipan lengkap surat Erwan di akun Facebooknya:
Assalamualaikum Wr. Wb.

Kepada yang terhormat Bapak Presiden Jokowi
Saya mengirim surat ini dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada bapak. Bapak sudah sangat menjadi pahlawan untuk saya dan mungkin untuk seluruh masyarakat Indonesia karena telah bersedia menjadi sosok yang bertanggung jawab mengatur negeri Indonesia tercinta ini.

Pak, saya dan istri saya adalah petugas kesehatan yang hanya sedang mengabdi di Desa Air Liki Baru, Kecamatan Tabir Barat, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi

Saya di sini hanya ingin menyampaikan, bahwa di zaman yang sudah memiliki berbagai macam alat berteknologi tinggi dan kehidupan serba modern ini, ternyata ada suatu kehidupan yang sangat mengiris hati. Di mana untuk menjadi sehat pun butuh nyawa untuk dikorbankan.

Pak, pernahkah bapak melihat ibu yang akan melahirkan ada di dalam sehelai sarung dan diangkat menggunakan satu batang bambu? Di sini saya menyaksikan di mana ibu yang akan melahirkan diangkat menggunakan tandu dan berjalan melalui jalanan terjal dan tanah merah licin. Kemudian tidak berhenti sampai sana, ibu tersebut dinaikkan ke atas perahu tanpa atap untuk mencapai tempat tujuan demi menyelamatkan calon penerus bangsa.

Pak, tahukah perasaan kami sebagai bidan dan tenaga kesehatan harus membawa pasien gawat darurat melewati kegawatdruratan sarana dan prasarana di zaman semodern ini? Jika terjadi keterlambatan rujukan, siapa yang harus kami salahkan, pak? Bahkan dokter di sini pun hanya ada satu dokter umum. Bagaimana negara ini bisa sehat pak?

Miris hati saya pak, demi tingkatkan kesehatan ibu dan anak, bidan desa berani taruhkan nyawa. Tahukah bapak? jangankan untuk mencapai rumah sakit, untuk mencapai puskesmas pun butuh waktu sembilan jam. Dan jalan yang bukan main, lumpur, bebatuan, bukit adalah rute yang memang biasa kami lalui.

Saya orang yang dilahirkan di sini dan orang yang mengalami setiap getir kesulitan di sini. Tapi enam bulan saya di sini cukup membuat saya banyak menghela napas sakit. Harus menyaksikan sendiri pengorbanan seorang wanita dan istri saya melewati setiap detik dengan tubuh kaku lemas, lidah yang bahkan sudah tak mampu untuk berucap, napas yang sudah sangat mencekik dan nadi yang bahkan hampir behenti berdenyut melewati setiap ketegangan demi menyelamatkan jabang bayinya.
Tidakkah hati bapak teriris? Jika wanita yang diangkat menggunakan sehelai sarung itu adalah bagian dari keluarga bapak?

Tidakkah hati bapak tersentuh? Jika bidan yang berani taruhkan nyawa itu bahkan tidak meminta jasa tambahan dibandingkan mereka yang hanya duduk manis di ruang ber AC atau bahkan duduk manis melahap sejumlah uang negara yang padahal bisa digunakan untuk membantu sehelai sarung itu menjadi sarana yang lebih layak.

Saya harap bapak bisa memahami setiap bulir kalimat yang saya sampaikan. Sekali lagi tidak mengurangi rasa hormat saya kepada bapak.

Pak, pernahkah bapak melihat ibu yang akan melahirkan ada di dalam sehelai sarung dan diangkat menggunakan satu batang bambu? Di sini saya menyaksikan di mana ibu yang akan melahirkan diangkat menggunakan tandu dan berjalan melalui jalanan terjal dan tanah merah licin. Kemudian tidak berhenti sampai sana, ibu tersebut dinaikkan ke atas perahu tanpa atap untuk mencapai tempat tujuan demi menyelamatkan calon penerus bangsa.

Pak, tahukah perasaan kami sebagai bidan dan tenaga kesehatan harus membawa pasien gawat darurat melewati kegawatdruratan sarana dan prasarana di zaman semodern ini? Jika terjadi keterlambatan rujukan, siapa yang harus kami salahkan, pak? Bahkan dokter di sini pun hanya ada satu dokter umum. Bagaimana negara ini bisa sehat pak?

Miris hati saya pak, demi tingkatkan kesehatan ibu dan anak, bidan desa berani taruhkan nyawa. Tahukah bapak? jangankan untuk mencapai rumah sakit, untuk mencapai puskesmas pun butuh waktu sembilan jam. Dan jalan yang bukan main, lumpur, bebatuan, bukit adalah rute yang memang biasa kami lalui.

Saya orang yang dilahirkan di sini dan orang yang mengalami setiap getir kesulitan di sini. Tapi enam bulan saya di sini cukup membuat saya banyak menghela napas sakit. Harus menyaksikan sendiri pengorbanan seorang wanita dan istri saya melewati setiap detik dengan tubuh kaku lemas, lidah yang bahkan sudah tak mampu untuk berucap, napas yang sudah sangat mencekik dan nadi yang bahkan hampir behenti berdenyut melewati setiap ketegangan demi menyelamatkan jabang bayinya.
Tidakkah hati bapak teriris? Jika wanita yang diangkat menggunakan sehelai sarung itu adalah bagian dari keluarga bapak?

Tidakkah hati bapak tersentuh? Jika bidan yang berani taruhkan nyawa itu bahkan tidak meminta jasa tambahan dibandingkan mereka yang hanya duduk manis di ruang ber AC atau bahkan duduk manis melahap sejumlah uang negara yang padahal bisa digunakan untuk membantu sehelai sarung itu menjadi sarana yang lebih layak.

Saya harap bapak bisa memahami setiap bulir kalimat yang saya sampaikan. Sekali lagi tidak mengurangi rasa hormat saya kepada bapak.

Dalam surat terbuka untuk Presiden Jokowi ini sudah mendapat 181 like dan 81 komentar.

Di unggahan itu Erwan melampirkan sejumlah foto seperti kondisi puskesmas pembantu, kondisi pasien yang diangkut menggunakan perahu, dan foto yang memperlihatkan seorang bidan tengah memeriksa kondisi kehamilan warga desa.

0 komentar:

Posting Komentar